Senin, 10 Mei 2010

Bapak Tua Penjual Gorengan

Setiap malam mulai pukul delapan hingga tiga pagi seorang bapak tua sibuk menjual gorengan yang ia buat sambil menggorengnya. Tepat di depan kampus ITB bapak tua tersebut menanti setiap pembeli yang akan datang dengan gerobaknya yang terlihat sudah cukup usang. Bapak tua tersebut menanti pembeli yang sebagian besar adalah kalangan mahasiswa ITB sendiri. Kadangkala gorengan buatannya laris manis terjual namun seringkali juga tidak begitu banyak yang membelinya. Penyebabnya lebih dikarenakan oleh tingkat kesibukan kampus di malam hari yang tidak menentu. Seringkali ketika ada kegiatan yang cukup ramai di kampus ITB gorengannya pun laku terjual dengan cepat, namun juga sebaliknya. Ketika situasi tidak cukup ramai pembeli, tidak jarang nampak terlihat bapak tua tersebut tertidur dalam duduk penantiannya.

Kira-kira 70 tahun umur bapak tua tersebut. Namun ditengah umurnya yang dapat dibilang sangat uzur, seorang bapak tua tersebut tidak pernah mengenal lelah dalam menghadapi hidupnya. Malam demi malam ia lalui untuk dapat menghasilkan rupiah yang mungkin bagi sebagian orang tidak ada artinya, namun baginya sangat luar biasa. Tetesan keringat selalu mengalir membasahi raut wajahnya yang sudah keriput.

Di balik kerasnya perjuangan seorang bapak tua yang selalu berjualan sendiri beliau menerapkan nilai-nilai kepercayaan kepada calon pembelinya. Setiap pembeli yang datang dipersilakan untuk mengambil sendiri gorengannya sesuai jumlah pembeliannya. Beliau percaya kepada pembelinya bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur. Sehingga setiap gorengan yang dibeli tidak pernah beliau hitung jumlahnya. Di balik realita tersebut ternyata beliau mengajarkan sifat yang sangat mulia kepada kita. Kerja keras dan kejujuran senantiasa mewarnai setiap detik perniagaannya. Dengan segenap sisa-sisa tenaganya tampak raut wajah beliau yang sudah lelah menghadapi kerasnya realita hidup, namun beliau tidak pernah menunjukkan ekspresi mengeluh.

Entah mengapa di setiap malamnya beliau selalu menghabiskan waktunya sendiri dengan menjual gorengan. Tidak pernah nampak wajah-wajah muda yang selayaknya menemaninya disetiap kesendiriannya. Tidak pernah terlihat seorang anak ataupun keluarganya yang bahkan seharusnya menggantikan keberadaan beliau untuk bekerja. Mengingat usianya yang sudah sangat tua tidak selayaknya beliau duduk di tengah dinginnya malam menanti setiap pembeli yang datang. Dengan usia yang seuzur itu seharusnya setiap malam dilalui dengan bencengkrama bersama cucu-cucunya dan menikmati sisa-sisa umurnya. Kemanakah anak-anak dan keluarga beliau?, apakah mereka sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga tidak mampu lagi mengurus orang tuanya? Ataukah mereka acuh tak acuh dan tidak peduli dengan kondisinya?, atau bahkan beliau tidak pernah memiliki keluarga?. Kita tidak tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulut beliau jika pertanyaan tersebut ditanyakan. Namun yang umum dan tampaknya menjadi penyebab utama hal tersebut adalah kondisi ekonomi yang memaksa beliau untuk bekerja di tengah sisa-sisa waktunya.

Setiap kemungkinan bisa terjadi, namun bagi orang-orang yang hanya bisa mengamati yang paling penting bukanlah apa penyebab beliau bisa seperti itu, namun hikmah apa yang dapat dipetik dari setiap peristiwa. Oleh karena itu setiap kisah perjalanan hidup manusia memiliki nilai dan manfaat yang dapat membuat setiap detik menjadi sangat berharga karena ternyata diluar sana banyak orang lain yang tidak lebih beruntung daripada kita. Ketidakberuntungan yang mereka alami pun tidak menyurutkan niat dan semangat mereka untuk senantiasa melakukan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain sehingga setiap kisah hidup bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.